
Sabtu, 08 Januari 2011
Seperti yang kita tahu bahwa Pretorian merupakan masuknya suatu militer kedalam politik pemerintahan suatu negara. Penyebab dari pretorian sanggup sangat bermacam-macam contohnya saja adalah adanya perilaku ketidakpercayaan dari pihak militer terhadap rezim yang sedang berkuasa dikarenakan rezim yang sedang berkuasa tersebut dianggap tidak bisa untuk menjalankan roda pemerintahan. Agar kita sanggup mengetahui lebih terang mengenai pretorian silahkan baca Istilah Pretorian Dalam Dunia Politik
![]() |
Ne Win (sumber: wikipedia.org) |
Pada masa awal kudeta, Ne Win memanfaatkan kesempatannya ketika pemerintahan Myanmar yang dipimpin oleh U Nu sangat berhati-hati sekali terhadap adanya imbas dari luar. Hal ini terjadi akhir dari adanya pengalaman jelek Myanmar pada dikala melawan penjajahan Inggris dan Jepang, serta adanya bahaya dari Cina dan Amerika.
Namun lantaran adanya perilaku hati-hati inilah yang kemudian mengakibatkan partai politik anti fasis di Myanmar mengalami perpecahan antara U Nu dan U Ba Swe, dan hal itu yang kemudian dimanfaatkan oleh Ne Win untuk melaksanakan gerakan militer dengan masuk ke panggung politik.
Pada dikala berkuasa, pemerintahan militer memegang kekuasaan secara sewenang-wenang dan tidak menyukai adanya campur tangan pihak asing. Tindakan Ne Win ini merupakan sebuah usaha untuk merubah sistem yang ada di Myanmar dan dengan begitu Ne Win berfikir untuk sanggup berkuasa usang di Myanmar.
Di bawah kepemimpinan Ne Win Partai Sosialis menjadi belahan penting selama Ne Win berkuasa, hal ini dikarenakan Partai Sosialis digunakan Ne Win sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaannya. Selain itu, pada dikala berkuasa Ne Win kemudian melaksanakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan abnormal yang ada di Myanmar.
Kudeta militer di myanmar yang dilakukan oleh Ne Win pada tahun 1962 sanggup dikatakan sebagai jenis pretorianisme tipe penguasa atau rezim militer. Hal ini disebabkan lantaran Ne Win hampir berkuasa selama 26 tahun.
Arogansi junta militer pimpinan Ne Win sanggup dikatakan ibarat dengan ABRI ketika zaman Soeharto. Tatmadaw sebutan angkatan bersenjata Myanmar selalu mengklaim dirinya sebagai institusi yang paling berjasa dalam memperjuangkan atau mempertahankan kemerdekaan. Menonjolkan prestasi dengan mengklaim telah menyelamatkan negara yang nyaris hancur oleh pemberontakan Partai komunis Myanmar dan lebih dari 50 kelompok etnis pemberontak semenjak tahun 1950-an. Di sisi lain sipil di nilai gagal, tidak sanggup untuk memimpin negara lantaran konflik di tingkat elit politik.
Ketika situasi darurat, sipil menyerahkan tanggung jawab pada militer. Seperti dilakukan Perdana Menteri U Nu ketika menunjuk Kepala Staf Angkatan Bersenjata Ne Win sebagai pelaksana sementara PM (1958-1960). Seperti Soeharto menggulingkan Soekarno berbekal Surat Perintah Sebelas Maret 1966, Ne Win juga melaksanakan hal yang sama terhadap U Nu.
Junta militer semakin berpengaruh dan pada dikala yang sama kekuatan sipil pun semakin melemah. Inilah hal utama yang mengakibatkan kekuatan sipil tak bisa mengimbangi tentara yang secara sistematis menguasai negara di segala aspek.
Meski sama-sama militer yang berdasarkan teori masuk dalam kategori pretorian, Orde Baru sanggup dikatakan jauh lebih sukses lantaran melahirkan kelas menengah baru, masyarakat sipil yang kritis dan terbentuknya media massa, meskipun pada risikonya mereka para kelas menengah gres itu justru bantu-membantu menjatuhkan rezim Orde Baru. Sedangkan di Myanmar tidak melahirkan kelas menengah yang mandiri, media massa dan masyarakat sipil yang berpengaruh pun tidak ada akhir telah diberangusnya hal itu semenjak 1988 dan memang sengaja dimandulkan.
Myanmar benar-benar menumpas dan mengharamkan kelas menengah tumbuh. Para pelopor pro-demokrasi Myanmar tak leluasa bergerak di dalam negeri, mereka lebih leluasa melaksanakan perjuangannya di luar negeri ibarat di Thailand.
Baca Juga : Masa Pemerintahan VOC di Indonesia
Indonesia dan Myanmar keduanya mempunyai militer yang pretorian. Namun militer Indonesia sanggup dipaksa menjadi profesional lantaran kombinasi tekanan oposisi termasuk para mahasiswa dan pelopor yang menduduki gedung tubuh legislatif kala itu.
Perpecahan di kalangan elit yakni mundurnya beberapa menteri penopang Orde Baru, dan pertolongan masyarakat internasional ikut mempengaruhi. Sedangkan Myanmar hanya mempunyai unsur yang terakhir saja. Hal itu tentu sangat sulit untuk melaksanakan sebuah perubahan, lantaran intinya perubahan itu harus berasal dari dalam negeri (internal), sedangkan unsur eksternal hanyalah pendukung dari adanya perubahan itu.
Sumber https://bapigif.blogspot.com/
Share This :
comment 0 Comment
more_vert